Pengalaman & Tips Urus Perpanjangan SIM

simSepekan ini (akhir Oktober dan awal November 2014) merupakan pekan yang melelahkan buatku. Hanya untuk prosedur patuh hukum berlalu lintas, aku harus menghabiskan empat hari dalam seminggu untuk urusan perpanjangan SIM A dan C.

Di tengah lelahku terlemparlah banyolanku ke seorang teman di jejaring sosial, “What is the job that you hate the most?”

For me in years, definitely cops.

Senin, 27 Oktober 2014: Pengalaman Perpanjangan SIM & Mutasi

Ditemani istri dan dua putraku, aku berangkat ke Polres kab. Bogor yang letaknya tidak jauh dari rumah. Seperti telah kuutarakan di atas, tujuanku adalah untuk mengurus perpanjangan Surat Ijin Mengemudi mobil dan motor.

Setibanya di sana, aku akhirnya tahu, jika untuk mengurus perpanjangan SIM mutasi dari DKI Jakarta ke kabupaten Bogor, diharuskan cabut berkas dulu ke Samsat Polda Metro Jaya yang ada di jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.

Regulasi yang menurutku aneh di era informasi digital dan perkembangan sistem teintegrasi seperti sekarang, mengingat persoalan perpanjangan SIM ini masih terjadi di wilayah Republik Indonesia. Aku berpikir seketika, betapa merepotkannya bagi masyarakat yang ingin patuh hukum di negeri ini. Upaya peningkatan pelayanan masyarakat seperti hanyalah jargon semu.

Alhasil, rencana pun berubah. Dengan keyakinan dan keterampilanku soal mengemudi, aku putuskan mengurus SIM baru saja. Menembus kemacetan Jakarta menuju jalan Daan Mogot di Jakarta Barat adalah momok yang menakutkan, menjadi salah satu pertimbangan utama.

Alasan lain menurukut, adalah perbedaaan biaya antara urus SIM baru dan perpanjangan mutasi SIM tidaklah jauh.

Untuk permohonan pembuatan SIM A baru dikenai biaya Rp 120 ribu, plus biaya asuransi Rp 30 ribu, biaya “Map Kesehatan” seharga Rp 20 ribu (padahal tidak dites juga, cukup membayar), dan biaya fotokopi Rp 2 ribu. Jadi totalnya, Rp 172 ribu.

Sementara jika urus perpanjangan SIM A dikenai biaya Rp 80 ribu, biaya asuransi Rp 30 ribu, biaya Map Kesehatan Rp 20 ribu. Ini belum termasuk biaya cabut berkas di Samsat SIM awal dan ongkos perjalanan yang Anda keluarkan ke sana (akan saya bahas kemudian).

Kurang lebih sama halnya untuk permohonan SIM C. Biaya urus SIM C baru sebesar Rp 100 ribu, sementara perpanjangan dikenai Rp 75 ribu.

Anda boleh menghitungnya ulang, cuma menurut pengalaman saya, perbedaan biaya untuk kedua persoalan itu (SIM A dan SIM C) “hanya” 65 ribu.

Ada juga cara mudah yang tentu tidak dibenarkan, yaitu tawaran calo. Salah seorang di antaranya sempat menawariku di Polres kab. Bogor, biaya cabut berkas Rp 400 ribu. “Gilaaaaa, gak tuh…?”

Setelah memutuskan mengikuti prosedur permohonan pembuatan SIM baru, aku diminta oleh seorang polisi yang bertugas di loket untuk mengikuti ujian praktek mengendarai mobil terlebih dahulu.

Uji praktek ini menurutku bukanlah hal baru, karena aku pernah melalui beberapa kali sebelumnya. Meski demikian tidaklah juga mudah, Anda mesti fokus.

Ada empat tahapan uji praktek yang ditetapkan untuk permohonan SIM A, yaitu uji parkir di area yang sempit, parkir pararel, stop and go di tanjakan, dan zig – zag. Dibutuhkan sedikit kemampuan berakrobatik dalam mengatur bukaan gas dan putaran setir kemudi, jika ingin mulus melaluinya.

Di ujian pertama, ternyata aku sudah gagal. Begini ceritanya…

Mobil Suzuki APV yang disediakan, aku mundurkan perlahan, hingga masuk ke dalam area kotak kuning di antara cone yang telah ditetapkan. Saat mobil kuperkirakan sudah masuk ke area kuning, mobil kuberhentikan, hendak kumajukan, sebelum petaka kecil itu terjadi.

Petugas polisi bernama “Sigit” yang duduk di samping kiriku berujar, “Belakang masih ada sedikit.”

Aku pun mengikuti anjurannya, hingga bemper belakang pelan menyentuh cone, dan seorang petugas honorer (kata istriku) berkata cukup keras, “Ya, gagal.”

Aku sempat protes pada polisi bernama Sigit itu, “Khan, bapak yang anjurkan mundur?”

Tanpa rasa bersalah,  polisi Sigit itu berujar, “Yah, ada juga yang nilai di luar.”

Aku tidak ingin mendebat lagi, meski kesal dengan jawabannya. Saking kesalnya, aku melupakan hal ini, ujian praktek motor.

Sebelum pulang dari lokasi pengujian praktek mobil, aku sempat diberi surat keterangan “Gagal” dan dapat kembali paling cepat seminggu kemudian.

Selasa, 28 Oktober 2014: Uji Praktek SIM C & Protes

Pagi hari, aku kembali ke Polres Bogor untuk mengikuti ujian SIM motor. Sempat pula aku mendapat sedikit hardikan kecil dari seorang petugas, kala aku melapor lupa tes kemarin. “Ngerjain orang saja, kemarin dipanggil – panggil gak ada.”

Momen yang tidak mengagetkanku, jarang – jarang memang bisa ketemu aparat yang baik hati dan ramah dalam bertutur kata. Mungkin karena takdir mereka yang ditugaskan untuk menghadapi orang jahat, jadi harus sangar.

Di lokasi pengujian praktek SIM C di Polres kab. Bogor, tersedia empat motor uji, yaitu satu unit skuter matik, satu motor bebek, dan dua motor kopling Suzuki Thunder 125cc. Setiap pemohon SIM motor harus melalui  tiga tahap pengujian, yaitu jalan maju dan menikung ke kanan dengan model huruf “U”, jalan zig – zag, dan terakhir berjalan berputar di area yang berbentuk angka “8”.

Ujian yang lagi – lagi menuruku tidak mudah. Juga diperlukan kemampuan akrobatik, agar motor kemudian dapat melaju pelan dan seimbang melewati rintangan, karena kaki tidak diperbolehkan turun menyentuh aspal selama proses pengujian berjalan.

Bayangkan saja, tidak sedikit pemohon yang diijinkan menggunakan motor sendiri saja gagal melaluinya.

Saat uji praktek, kaum perempuan diperbolehkan menggunakan motor matik atau bebek, dengan maksimum kesalahan dua kali, baik itu kaki menyentuh aspal atau menabrak cone yang satu sama lain jaraknya kira – kira hanya 30 cm.

Sementara buat kaum laki – laki yang menggunakan motor bebek atau matik tidak diperbolehkan melakukan kesalahan sekalipun, kecuali jika menggunakan motor kopling boleh melakukan kesalahan maksimum dua kali.

Aku sendiri, meski sudah sekitar tiga tahun terakhir tidak menggunakan motor kopling, tapi kubulatkan tekad menggunakan motor jenis tersebut.

Ujian pertama, menikung model huruf “U” berhasil kulalui dalam sekali jalan. Sempat rasanya dua kali kakiku meninggalkan pijakan kaki, tapi lebih sebagai penyeimbang.

Ujian kedua, jalan zig- zag. Aku pun dapat melalui dengan mulus. Pun demikian dengan ujian melaju di trek model angka “8”. Rasanya seperti juara…:)

Turun dari motor, aku tidak ingin mendengar komentar aparat tentang tahapan berikutnya. Di benakku justru ingin mengajukan protes atas kejadian hari Senin kemarin, soal himbauan aparat polisi yang duduk di sampingku pada saat ujian praktek mobil.a

Aku mengajukan keluhanku pada seorang instruktur polisi bernama Nandang. Awalnya pak Nandang bersikeras, jika kesalahan yang dilakukan oleh pemohon SIM adalah faktor kelalaian si pengemudi.

Aku lalu membuat sebuah analogi berikut, “Jika pemohon SIM merupakan pihak yang baru pertama kali mengajukan permohonan SIM, lalu kemudian saat ujian dia melakukan kesalahan atas himbauan seorang polisi pendamping, maka pencetus kesalahan adalah himbauan polisi tersebut. Logika dasarnya, pemohon cenderung akan berpikir polisi adalah penegak kebenaran.”

Logika ini ternyata diterima. Sebentar kemudian, seorang polisi lainnya menghampiriku. Polisi yang kuketahui bernama “Dwi” dari bagian pengujian praktek SIM A memanggilku ke tempat yang agak sepi. Padanya kujelaskan hal yang sama, sambil menunjuk polisi Sigit yang sedang menjalankan tugasnya sebagai pencetus kesalahan yang terjadi di Senin kemarin.

Aku lalu menutup pembicaraan dengan polisi Dwi, “Pada intinya, saya terima kesalahan, tapi semoga hal ini juga dapat menjadi instropeksi bagi pihak Polres kabupaten Bogor dalam melayani masyarakat.”

Setelah itu, aku berjalan ke ruang tunggu uji teori SIM C, hingga sebuah suara berseru, “Ada pak Rahmat?”

Aku pun mengangkat tangan. Polisi yang keketahui bernama “Robby” dari bagian uji praktek SIM A itu lantas mengajakku mengikutinya ke sebuah ruangan. Di ruangan yang nampak penuh berkas itu, kutemui seorang polisi yang nampaknya tertinggi pangkatnya di bagian pengurusan SIM. Kalau tidak salah namanya “Asep Syarifuddin”. Namanya kulihat bertanda tangan di lembaran yang tertempel di beberapa wilayah ruangan tersebut.

Substansi diskusi kami pada intinya sama, dan pihak Polres kab. Bogor melalui pak Asep menyebut hal ini menjadi masukan. Setelah itu, aku tetap diharuskan kembali untuk mengikuti ujian teori, meski di sini rasanya ada kemudahan yang diberikan.

Tepat tengah hari, aku sudah punya SIM C baru setelah membayar sesuai peraturan, yaitu Rp 100 ribu.

Tips: Ujian praktek permohonan SIM C tidaklah mudah, diperlukan sedikit kemampuan akrobatik. Ada baiknya Anda latihan dulu, sebelum menjalaninya. Berikut link video sebagai gambaran buat Anda.

Pun demikian dengan ujian teori, meski hanya sekitar setengah jam, namun kemungkinan tingkat kegagalannya pun tinggi. Sebagai gambaran, sekitar 20 orang yang tes teori sebelum kelompokku, yang lulus hanya satu orang. Sementara pada saat kelompokku yang terdiri dari 19 orang, yang lulus hanya tiga orang. Berikut link video yang setidaknya bisa memberikan gambaran buat Anda, saat uji teori SIM C.

Jumat, 31 Oktober 2014: Pengalaman Mutasi SIM A

Sejatinya saya ingin sekali tes ujian teori SIM A pada hari Senin besok, 3 November 2014. Sayangnya, ada pekerjaan yang harus mulai laksanakan pada hari itu. Imbasnya, saya harus mengurus surat cabut berkas di Samsat Daan Mogot, Jakarta Barat.

Sekitar jam lima pagi saya sudah meninggalkan rumah menuju stasiun KA Citayam. Menggunakan Commuter Line, saya naik hingga stasiun KA Sudirman. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, saat kemudian saya tiba di loket bus Trans Jakarta halte Dukuh Atas. Artinya harga tiketnya masih Rp 2 ribu per penumpang.

Aku naik hingga halte Harmoni untuk berpindah busway ke arah Kalideres. Turun di halte Taman Kota (setelah halte Indosiar), aku berencana jalan kaki ke Samsat Daan Mogot. Apa lacur, seorang bapak yang sepertinya salah satu bos calo menegurku dengan banyak tawaran, termasuk ketika dia mengetahui niatku ingin melakukan cabut berkas mutasi SIM A. “300 ribu deh, bos. Cepet kok,” ungkapnya.

Gak usah, pak. Biar saya urus sendiri,” tegasku. Ia lalu menganjurkan naik ojek dan menyuruh salah seorang anak buahnya mengantarku dengan ongkos Rp 10 ribu.

Di perjalanan, sang tukang ojek rupanya masih berusaha mencari celah menawarkan bantuan sebagai calo. Singkat kujawab, “Saya ini wartawan, pak. Kalau dipersulit nanti saya tulis saja.”

Ia pun terdiam sesaat kemudian.  Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, setibanya aku di ruang Arsip, bagian mutasi SIM di Samsat Daan Mogot yang terletak di lantai dua.

Setelah menyerahkan fotokopi KTP dan SIM A, sang petugas di bagian Arsip tersebut menyerukan biaya yang membuatku cukup kaget, “Delapan puluh ribu,” ujarnya pelan.

Tidak jelas biaya untuk apakah Rp 80 ribu itu, namun aku mulai mereka – reka hal lain. Pertama, lebih baik urus SIM A baru yang biayanya hanya Rp 175 ribu (biaya SIM A baru Rp 125 ribu, biaya asuransi Rp 30 ribu, dan biaya Map Kesehatan Rp 20 ribu), dibanding urus mutasi SIM A yang dikenai biaya Rp 210 ribu (biaya mutasi SIM Rp 80 ribu, biaya perpanjangan SIM A Rp 80 ribu, biaya asuransi Rp 30 ribu dan biaya Map Kesehatan Rp 20 ribu). Biaya mutasi SIM A ini belum termasuk pemborosan waktu dan biaya ongkos yang dikeluarkan.

Kedua, andai saja pihak kepolisian Indonesia benar – benar mau meningkatkan kualitas layanan masyarakat, hal cabut berkas mestinya tidak perlu dilakukan di Samsat dimana SIM A awal dibuat. Mereka dapat menggunakan sistem online terintegrasi, mengingat wilayah kabupaten Bogor (tempat dimana aku bermukim saat ini) dengan DKI Jakarta masih berada di wilayah NKRI. Satu – satunya hal yang kupikirkan di sini adalah faktor “bisnis” yang tetap dilanggengkan.

Setelah menunggu sekitar sejam, surat keterangan mutasi SIM A buatku diberikan di dalam sebuah amplop kecil berwarna coklat. Aku pun berusaha bergegas, agar dapat tiba di Polres kab. Bogor sebelum jam istirahat shalat Jumat.

Saat berjalan menuju ke halte Taman Kota, bapak calo yang kutemui di bawah jembatan penyeberangan tadi kembali menyapaku, “Beres?”

“Beres,” ucapku tersenyum kecil.

Eh, dia malah menggerutu kecil, “Mau dibantu urusin, gak mau.” (hahahaha…, dasar parasit, mau saja nyari duit dari kesulitan orang).

Meski sudah bergegas, aku ternyata baru bisa tiba di stasiun Citayam jelang waktu shalat Jumat. Barulah setelahnya, aku segera melaju menuju polres kabupaten Bogor.

Meski sudah ternyata sudah tutup, nampak seorang bapak berpostur besar dan berambut putih menyapaku. Ia awalnya menawarkan bantuan untuk dibantu pengurusan. Awalnya kupikir tulus, hingga akhirnya aku paham bapak ini tengah mencari celah untuk mendapat uang tambahan. Hmm, percaloan yang telanjang dan kasat mata.

Beruntung, pak Nandang (polisi yang kuajak diskusi di hari Selasa kemarin) melihat kejadian itu. Ia ternyata masih mengenaliku. Ia menegur bapak tadi dengan bahasa Sunda yang tentu tidak kumengerti, kecuali jika ada Yonna istriku di situ membantuku.

Pak Nandang memintaku untuk kembali hari Sabtu besok dan mengurus sendiri saja.

Tips: Jika Anda mengalami hal yang sama denganku di atas, memilih mutasi atau buat SIM baru, mending disarankan tes ulang permohonan pengajuan SIM A yang baru saja. Cara ini lebih menghemat biaya dan waktu. Hanya saja Anda memang harus yakin dengan kemampuan dan keterampilan mengemudikan Berikut link video untuk menggambarkan tingkat kesulitan uji praktek SIM A.

Bila Anda tidak yakin dengan kemampuan mengemudi yang dimiliki, sebaiknya memang cabut berkas di Samsat kota asal pembuatan SIM A awal. Untuk itu, diperlukan biaya lebih besar dan waktu pengurusan lebih lama.

Cara terakhir, meski tidak disarankan, adalah menggunakan jasa calo yang sangat mudah ditemui berdasarkan pengalaman saya.

For me, this is will be another reason to hate more that institution.

Sabtu, 1 November 2014: Pengurusan SIM A Mutasi

Pukul delapan pagi, aku bersama istri dan ketiga anakku menuju Polres kab. Bogor. Saat tiba di loket pendaftaran dan menyerahkan berkas, seorang polisi yang bertugas bertanya, “Mana ID Pers-nya?”

Pertanyaan yang menurutku tidak relevan, karena pengurusan perpanjangan SIM A ini mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, bukan meminta kemudahan. Agak ketus kujawab saja, “Mengikuti prosedur untuk patuh hukum saja sulit yah, pak?! Empat hari saya buang waktu untuk mengurus SIM ini sesuai prosedur, dan hari ini saya tidak bawa ID Pers, karena hari ini bukan hari kerja dan saya ingin jalan – jalan dengan anak istri saya.”

Dengan senyum agak kecut, ia lantas menyuruhku di pendopo ruang tunggu. Sekitar sejam menunggu, baru namaku dipanggil untuk mengisi lembaran formulir yang diberikan.

Saat menyadari diri tidak membawa pulpen, aku sempat bertanya pada seorang berpostur gendut berkemaja biru di bagian loket pembayaran. “Boleh, pinjam pulpennya, pak?”

Singkat ia jawab, “Cuma satu, pak.”

Sebentar kemudian dia berbalik lagi, sambil berbisik, “Mau bantu diisikan, dan tinggal foto?”

Aku di dalam hati, “Grrrrr….”

Singkat cerita, tidak lama setelah mengisi formulir dan membayar, SIM A yang baru itu pun selesai.

Tips: Untuk pengurusan permohonan SIM baru, ataupun perpanjangan SIM, ataupun mutasi perpanjangan SIM, ada baiknya Anda mengurus sendiri. Pasalnya biaya calo itu tidaklah murah. Sepengatahuan, seorang tetangga di dekat rumah baru saja mengurus SIM A dikenai biaya Rp 400 ribu.

Semoga bermanfaat…

 

 

 

18 Replies to “Pengalaman & Tips Urus Perpanjangan SIM”

  1. Saya baru saja cabut berkas (mutasi) di Daan Mogot. Gratis dan sekitar setengah jam sudah beres. Mungkin karena kapolda beberapa hari yang lalu inspeksi ke sana. Mudah-mudahan bisa begini terus.

  2. Saya baru saja cabut berkas (mutasi) di Daan Mogot. Gratis dan cuma sekitar setengah jam sudah beres. Mungkin karena Kapolda baru inspeksi ke sana beberapa hari yang lalu. Mudah-mudahan bisa begini terus.

  3. Boleh tanya untuk bisa cabut berkas, dokumen yang diperlukan apa saja?
    Apakah perlu keterangan dari kelurahan/kecamatan asal. atau hanya cukup ktp terbaru saja?

    1. Halo, Mbak Mindaputri. Saya tulis kok di artikel syaratnya, “… Setelah menyerahkan fotokopi KTP dan SIM A, sang petugas di bagian Arsip tersebut menyerukan biaya yang membuatku cukup kaget, “Delapan puluh ribu,” ujarnya pelan.”
      Semoga membantu yah, dan sabar…:d

  4. IYA BAIKNYA HATI2 SAAT ADMIN DI LOKET 3 ATAU 4 PERPANJANG SIM , MEMBERI FORMULIR DIKENAKAN 50 RIBU , MENJEBAK ORANG AWAM. NGGA ADA FORMULIR BAYAR, CUMA KESEHATAN DAN BAYAR BRI

  5. Andaikan Polisi itu sadar betapa dibencinya mereka oleh rakyat “biasa” macam kita ya Pak. Pekerjaan mereka itu penting sekali akan tetapi sayang 99.99 persen isinya tidak kompeten/tidak sadar pekerjaan mereka seharusnya dilaksanakan seperti apa 🙂

Leave a comment